Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Hal ini hendaknya
melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti
halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan
pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati
digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya
menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat
adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi
dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma
dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu
ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi
didunia bisa berjalan.
Kemenangan dharma atas adharma yang telah
dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya
diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43)
disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Di
samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia
dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka
564) menyebutkan :
"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".
Artinya:
Lagi pula
terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan
jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan
ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah
keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan
sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita. (WHD No. 436 Juni
2003).
dicopas dari |sumber| tanpa izin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bantu [ww]-Share dengan Komentar Anda
[walaupun hanya say "hay"]